Senin, 06 Juli 2015

Salah pilih bukan berarti salah langkah

Saya adalah mahasiswa semester 2 (tahun ini akan naik menjadi semester 3). Saya sangat menyukai pelajaran fisika sejak saya duduk dibangku SMP. Cita- cita saya masuk ke fakultas teknik. Fakultas teknik umumnya dipenuhi oleh kaum laki-laki, tapi saya tidak peduli. Pokonya saya mau masuk sekolah teknik. Sejak kelas satu SMA saya terus meningkatkan nilai pelajaran fisika saya. Saya suka fisika dan saya bisa fisika. Nilai saya selalu bagus sampai akhirnya saya lulus. Sebelum lulus saya mulai mencari universitas "cadangan" dimana saya memilih salah satu universitas ternama di Jakarta jurusan Teknik Informatika dan Matematika. Saya diterima dan mendapatkan beasiswa potongan uang masuk. Sungguh senang hati saya. Impian masuk untuk masuk fakultas teknik semakin dekat. Saya melanjutkan mendaftar salah satu Universitas negeri di Malang. Setelah menghitung nilai dan peluang masuk saya yakin saya pasti dapat di Teknik Tatakota atau Fisika. Saya cinta teknik saya cinta fisika. Waktu pun berlalu, Ujian Nasional sudah saya lewati dan tiba pengumuman universitas tersebut. Saya tidak dapat! Di situ saya menangis dan kecewa rasanya. Teman saya yang selalu bolos bahkan nilainya kurang dari saya malah dapat. Hmm. menyebalkan. Aku kesal sudah belajar mati-matian. Aku kesal! Tapi saya tak menyerah. Tinggal di Palangkararaya membuat saya harus berangkat ke luar kota untuk test lagi. Pilihanku jatuh pada kota Bandung. Saya jatuh cinta pada kota ini karena kaka saya dulu berkuliah di sini. Liburan pun sering saya lalui di kota ini. Nekat, saya berangkat untuk test di universitas negeri mengambil teknik pertambangan. Beberapa waktu berlalu dengan harapan yang sangat besar aku berharap.... tapi apa daya saya tidak diterima lagi.. waktu semakin berlalu dan sudah dekat bulan Agustus. Saya merasa frustasi. Tidak dapat dimana-mana. Saya hampir saja packing mau ke universitas swasta. Kemanapun tempat kuliahnya yang penting teknik! Tapi, orang tua saya tidak mengijinkan untuk kuliah di universitas swasta. Terpaksa saya mendaftar Ujian Masuk Bersama(UMB) di universitas lokal. Saya sudah hilang arah, ga tau lagi harus berbuat apa, tapi tetap pilih fakultas Teknik.
Entah mengapa hati saya berkata lain. Hati ini menyarankan untuk mendaftar juga di fakultas kedokteran. Saya lama berfikir kenapa ya saya ingin daftar di kedokteran? Saya ga suka biologi. Saya lumayan jago kimia tapi itu gara-gara mau masuk fakultas teknik. Setiap pelajaran biologi di SMA saya pasti tidur. Tidak peduli guru sampai kesal saya tetap tidur di depan guru saya ( I'm sorry for my mistake, sir. :( menyesal rasanya tidak menghargai bapak, betapa bodohnya saya saat SMA dulu). Saya juga takut darah. Saya tidak bisa melihat kecelakaan, pasti nangis melihat darah. Jarum suntik adalah hal yang saya takutkan dari dulu. Saya pernah menangis tiada henti saat dirawat di rumah sakit. Saat akan dipasangkan jarum infus saya berontak karena saking takutnya hingga salah cucuk berkali-kali. Saya penyakitan. Tiap bulan pasti sering terserang sakit apapun. Saya tidak pernah mau masuk fakultas kedokteran. Walaupun saat mos papan cita-cita saya tertulis "ingin menjadi dokter" tapi itu tidak benar. Saya tidak tau ingin jadi apa, jadi saya mencontek papan cita-cita teman saya. Daripada kosong dan dimarahin. Saya mengikuti test fakultas teknik dan kedokteran. Dan saya diterima kedua-duanya. Di sini saya dilema, apakah memilih universitas swasta yang pasti terkenal dan di luar kota? Atau bertahan universitas lokal antara  fakutas teknik atau kedokteran.






Entah kerasukan apa, saya memilih dengan nekat tidak berangkat ke Jakarta. Saya malah memilih fakultas kedokteran. Sesuatu yang tidak pernah saya pikirkan dan saya benci. Awal masuk rasanya seperti di nereka. Berada di tempat yang tidak pernah kamu bayangkan sebelumnya dan bukan cita-citamu itu mengerikan. Berat hati saya menjalani semuanya. Saya mau fakultas teknik tapi entah mengapa saya memilih fakutas kedokteran.
Waktu pun berlalu entah mengapa saya menjadi suka berada disini. Membaca buku-buku tebal, memghapal bahasa latin sangat menyenangkan. Walaupun saya harus memulai dari awal memahami karena dasar saya lemah. Saya harus berjuang untuk lebih baik dari teman-teman saya yang sudah mempersiapkan diri untuk berada di fakultas kedokteran. Lambat laun kebencian saya terhadap biologi pudar. Lama-lama saya tidak takut lagi dengan darah bahkan terobsesi dengan darah. Jarum suntik pun seperti mainan bagi saya. Kesehatan saya menanjak membaik, saya jarang sakit. Saya malah menikmati hal yang tidak pernah saya bayangkan dan saya bahkan benci dulu.
Sekarang saya masih dalam tahap mahasiswa. Masih panjang lagi perjalanan saya untuk meraih gelar dokter. Masih banyak lagi malam tanpa tidur, ilmu yang harus diserap dan keterampilan yang harus saya pelajari. Saya menikmati semua ini. Salah pilih bukan berarti salah langkah. Salah pilih malah bisa mengarahkan anda kemana seharusnya anda melangkah.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Show Me The Stars Template by Carly Lloyd Designs